ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA
Salah satu “keunikan” Islam di Jawa yang masih menjadi tanda tanya besar hingga kini adalah mengapa ‘Islam Jawa’ sangat toleran terhadap kebudayaan dan adat istiadat pra-Islam yang sesungguhnya mengandung banyak syirik dan khurafat. Ada yang menyatakan hal ini, pemanfaatan budaya lokal, merupakan bagian dari strategi Walisanga untuk mendakwahkan Islam sehingga lebih mudah diterima, ada yang menyatakan hal tersebut disebabkan dakwah Walisanga yang belum selesai, dan ada pula yang mengemukakan pandangannya jika diterimanya Islam oleh para penguasa Jawa karena pilihan yang sulit ketika itu menghadapi Portugis dan kaum imperialis Barat lainnya yang membawa salib dan pedang.
Sejarawan Belanda,
Bernard H. M. Vlekke dalam “Nusantara: A History of Indonesia” (1961)4 mengemukakan
hal yang menarik tentang mengapa orang Jawa berbondong bondong masuk Islam, tapi pada
saat yang bersamaan memiliki pemahaman dan praktik keagamaan yang
bersahabat dengan tradisi lokal (Sinkretis). Dalam kata pengantarnya, Luthfi Assyaukanie
menulis: Para raja Jawa, menurut Vlekke, memilih Islam bukan karena mereka suka dengan
agama itu, tapi karena situasi politik mendorong mereka untuk bertindak demikian. Pada abad
ke-16 M, para pelaut Portugis mulai menjejakkan kakinya di pantai-pantai Jawa. Para raja Jawa
dihadapkan pilihan sulit antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan
Johor dan Demak, yang berarti harus memilih antara Kristen dan Islam. Melihat perilaku
Portugis dan catatan kecurangan-kecurangan mereka, raja-raja Jawa kemudian memilih Islam. Agaknya
bukan hanya rasa kedekatan budaya dan sejarah masa silam yang membuat mereka lebih
menerima bersekutu dengan kerajaan-kerajaan Islam, tapi juga karena agama ini memberikan
fleksibilitas yang tinggi ketimbang Kristen. Jika mereka masuk agama Kristen, bukan hanya
mereka harus tunduk pada kekuasaan Portugis, tapi juga harus mengganti tradisi mereka dengan
budaya baru yang dibawa oleh orang-orang kulit putih itu.
Bisa jadi, semua
alasan di atas benar. Hanya saja, teramat sulit menerima dengan akal sehat—bahkan
mustahil—jika dikatakan Walisanga mendiamkan pratik-praktik lokal yang penuh dengan
khurafat dan kemusyrikan, karena Walisanga berasal dari luar Jawa dan sangat
paham dengan ilmu-ilmu agama dan segala larangannya. Menjadi pekerjaan rumah
pada ulama dan pemuda Islam yang lurus saat inilah sekarang untuk meluruskan
upacara-upacara penuh kemusyrikan seperti tradisi Sekaten, Mauludan, dan
sebagainya agar kembali pada nilai nilai Islam yang bersih dan lurus, bukan
malah memelihara kesesatan tersebut dan tanpa ilmu menyatakan Islam agama yang
penuh toleransi. Karena Rasulullah SAW tidak pernah bersikap toleran pada
kemusyrikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar