Jumat, 09 Maret 2012


ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA
   
Salah satu “keunikan” Islam di Jawa yang masih menjadi tanda tanya besar hingga kini adalah mengapa ‘Islam Jawa’ sangat toleran terhadap kebudayaan dan adat istiadat pra-Islam yang sesungguhnya mengandung banyak syirik dan khurafat. Ada yang menyatakan hal ini, pemanfaatan budaya lokal, merupakan bagian dari strategi Walisanga untuk mendakwahkan Islam sehingga lebih mudah diterima, ada yang menyatakan hal tersebut disebabkan dakwah Walisanga yang belum selesai, dan ada pula yang mengemukakan pandangannya jika diterimanya Islam oleh para penguasa Jawa karena pilihan yang sulit ketika itu menghadapi Portugis dan kaum imperialis Barat lainnya yang membawa salib dan pedang.

   Sejarawan Belanda, Bernard H. M. Vlekke dalam “Nusantara: A History of Indonesia” (1961)4 mengemukakan hal yang menarik tentang mengapa orang Jawa berbondong bondong masuk Islam, tapi pada saat yang bersamaan memiliki pemahaman dan praktik keagamaan yang bersahabat dengan tradisi lokal (Sinkretis). Dalam kata pengantarnya, Luthfi Assyaukanie menulis: Para raja Jawa, menurut Vlekke, memilih Islam bukan karena mereka suka dengan agama itu, tapi karena situasi politik mendorong mereka untuk bertindak demikian. Pada abad ke-16 M, para pelaut Portugis mulai menjejakkan kakinya di pantai-pantai Jawa. Para raja Jawa dihadapkan pilihan sulit antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan Johor dan Demak, yang berarti harus memilih antara Kristen dan Islam. Melihat perilaku Portugis dan catatan kecurangan-kecurangan mereka, raja-raja Jawa kemudian memilih Islam. Agaknya bukan hanya rasa kedekatan budaya dan sejarah masa silam yang membuat mereka lebih menerima bersekutu dengan kerajaan-kerajaan Islam, tapi juga karena agama ini memberikan fleksibilitas yang tinggi ketimbang Kristen. Jika mereka masuk agama Kristen, bukan hanya mereka harus tunduk pada kekuasaan Portugis, tapi juga harus mengganti tradisi mereka dengan budaya baru yang dibawa oleh orang-orang kulit putih itu.

   Bisa jadi, semua alasan di atas benar. Hanya saja, teramat sulit menerima dengan akal sehat—bahkan mustahil—jika dikatakan Walisanga mendiamkan pratik-praktik lokal yang penuh dengan khurafat dan kemusyrikan, karena Walisanga berasal dari luar Jawa dan sangat paham dengan ilmu-ilmu agama dan segala larangannya. Menjadi pekerjaan rumah pada ulama dan pemuda Islam yang lurus saat inilah sekarang untuk meluruskan upacara-upacara penuh kemusyrikan seperti tradisi Sekaten, Mauludan, dan sebagainya agar kembali pada nilai nilai Islam yang bersih dan lurus, bukan malah memelihara kesesatan tersebut dan tanpa ilmu menyatakan Islam agama yang penuh toleransi. Karena Rasulullah SAW tidak pernah bersikap toleran pada kemusyrikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar